Powered By Blogger

Jumat, 02 November 2012

Mantuq dan Mafhum ushul Fiqh

MANTUQ DAN MAFHUM DALAM ILMU USHUL FIQH
MAKALAH
Diajukkan untuk memenuhi salah satu tugas Struktur
 pada mata kuliah Ushul Fiqh


Disusun Oleh :
Sapty Prasetiawaty. R
NIM : 120 940 3037


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2009/2010
KATA PENGANTAR
Puji yang menjadi penganut hati dilantunkan kepada Allah Rabbul Izzati. Puja yang menjadi penganut jiwa dilantunkan kepada Allah Azza Wajalla, yang mana atas berkat curahan kasih sayang-Nya dengan memberinya kesehatan sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah “MANTUQ DAN MAFHUM” pada mata kuliah Ushul FiqH.
Shalawat dan salam senantiasa selalu tercurah limpahkan kepada habib tertinggi, manusia termulia, pengkikis habib segala ajaran komunis dan kapitalis, penghancur perbuatan najis, pembawa ahklak yang mukhlis. Siapakah dia kalau bukan pimpinan kita yang idealis yakni Nabi besar Muhammad SAW.
Dalam penulisan makalah ini, penyusun perlu menyadari sepenuhnya sebagai insane yang dianugerahi kelebihan disamping keterbatasan diri. Oleh Karena itu makalah ini tidak akan selesai tanpa pengarahan dari berbagai pihak. Tak lupa pula, penyusun mohon saran dan kritiknya kepada pembaca makalah ini apabila dalam penyusunannya jauh dari kesempurnaan.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun pribadi, umumnya bagi pembaca sekalian.



Bandung,  Desember 2009

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..  i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….  ii
BAB 1        : PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
              I.   Latar Belakang Masalah………………………………………….. 1
              II.  Rumusan Masalah………………………………………………... 1
              III. Tujuan Pembahasan……………………………………………… 1
BAB II       : PEMBAHASAN…………………………………………………….. 2
1. Pengertian Mantuq dan Mafhum………………………………….. 2
2. Pembagian Mantuq dan Mafhum………………………………….. 2
1) Nash…………………………………………………………… 3
2) Zahir…………………………………………………………… 3
3. Syarat-syarat Mantuq dan Mafhum……………………………….. 6
4. Metode.............................................................................................  8
1). Metode Ulama Hanafiah........................................................... 8
2). Metode Ulama Mutakallimin………………………………… 13
BAB III      : PENUTUP………………………………………………………….. 17
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..  iii




ii
BAB 1
PENDAHULUAN
I.    Latar Belakang Masalah
Pembuatan makalah ini dibuat untuk memperkenalkan kepada publik arti dan makna dari “mantuq dan mafhum”, sehingga masyarakat bisa mengetahui, memahami, dan menerapkan dalam kehidupan dalam kehidupan sehari-harinya.
II.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana peran penting dari Mantuq dan Mafhum?
2.    Bagaimana pengaruh Mantuq dan Mafhum dalam kehidupan sehari-hari?
3.    terbagi berapa bagian Mantuq dan Mafhum dalam pembelajaran Ushul Fiqh?
4.    Syarat-syarat apa saja yang ada dalam Mantuq dan Mafhum?
5.    Metode siapa saja yang diterapkan dalam Mantuq dan Mafhum?
III.    Tujuan Pembahasan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempermudah kepada pembaca dalam memahami Mantuq dan Mafhum.








1
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), dedang mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat)
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”(Q.S Al-Isra’ ayat 23).
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum
2. PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM
A.    Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
2
1) Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT
Maka wajib berpuasa tiga hari (Q.S Al-Baqarah ayat 106)
2) Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu (Q.S Ar-Rahman ayat 27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan zat, karena mustahil bagi tuhan mempunyai wajah seperti manusia.
”dan langit yang kami bangun dengan tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47)
Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia.
A.    Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
a) Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.


3
b) Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q.S An-Nisa ayat 10)
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut ang berarti dilarang (haram)
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT:
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah:
1. Mafhum Shifat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT.
”Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin” (Q.S. An-Nisa ayat 92)
    4
2. Mafhum ’illat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
3. Mafhum ’adat
yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4)
4. Mafhum ghayah
yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan dengan ”hakta”. Seperti firman Allah SWT.
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
(Q.S Al-Maidah ayat 6)
Firman Allah SWT
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
(Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
5. Mafhum had
yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT.:
5
Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
6. Mafhum Laqaab
yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il, seperti sabda Nabi SAW
3. SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH
syarat-syaraf mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dimukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi, se¬bagai berikut:
Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin¬an”
(Q. S Isra’ ayat 31).
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di¬bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah:
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali
dengan kebenaran (Q.S Isra’ ayat 33)”
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik (Q.S Isra’ ayat 23).
6
Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berla¬wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.
2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh:
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu”
(Q.S An-Nisa’ ayat 23).
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme¬liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se-bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3. Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh:
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
4. Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contoh:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid (Q.S Al-Baqarah ayat 187)”.
Pada dasarnya ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang berdasarkan pada ijtihad para mujtahid dengan sumber utamanya al-Qu’an dan hadits.

    7
 Karena itu kajian ilmu ushul fiqh terletak pada dilalah (petunjuk) yang ada dalam teks mengenai makna maupun petunjuk lainnya seputar teks.
Dari sisi penunjukkan lafadz para Ulama ushul membagi ‘dilalatul alfadz’ ini atas berlakunya hukum menjadi dua metode, 1) Metode Ulama Hanafiah 2) Metode Ulama Mutakallimin.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bahasa yang nantinya dikaji dan ditinjau relasi antara lafadz dan makna sesuai dengan kaidah bahasa arab dan pendekatan lainnya dengan pendekatan syara’.
            Penunjukkan lafadz menurut Ulama hanafiah terbagi menjadi empat macam: dilalah ibarah, dilalah nash, dan dilalah iqtidha. Apabila dua yang pertama berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat (ibarah) maupun yang tersirat (isyarah) dari makna secara langsung, maka dua yang terakhir berusaha menemukan tujuan syar’I yang tidak tertulis dalam teks baik melalui perluasan makna teks (dilalah nash) maupun penyisipan (iqtidha).
            Adapun penunjukkan lafadz menurut Ulama mutakallimin dibagi menjadi dua: mantuq dan mafhum. Yakni berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat (manthuq) maupun yang tersirat (mafhum).
1. Metode Ulama Hanafiah
 A. Ibaratu an-Nas (عبارة النص) atau Dilalah ‘Ibarah
         Definisi ‘Ibaratu an-nas’ menurut Al-sarkhisyi sebagai berikut:
ما كان السياق لأجله ويعلم قبل التأمل به أن ظاهر النص متناول له.
“Apa yang terungkap ditunjukkan untuknya dan dapat diketahui sebelum adanya pemikiran yang mendalam bahwa zhahir nash diperuntukkan baginya”
Definisi yang dikutip oleh Sa’id al-Khin:
8
دلالة اللفظ على ماكان الكلام مسوقا لأجله أصالة أو تبعا وعلم قبل التأمل أن ظاهر الناس يتناوله.
“Penunjukkan lafadz atas pembicaraan yang diungkap baginya baik makna pokok atau tidak pokok dan dapat diketahui sebelum pemikiran yang mendalam bahwa zhahir nash diperuntukkan baginya”.
Misalnya, Firman Allah Swt:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Qs.4:3.
                 Dari paparan ayat ini dapat diambil dari lafadz dan ibarahnya beberapa hukum, yaitu:
1.    Pembolehan nikah.
2.    Pembolehan menikah lebih dari satu istri.
3.    Membatasi menikah dengan satu istri apabila suami khawatir tidak berlaku adil dalam poligami.
Tiap-tiap pengambilan hukum di atas diambil melalui ‘ibarot an-nas’ karena pembicaraan diungkap baginya dan lafadz  diperuntukkan baginya sebelum pemikiran yang mendalam (ta’ammul) sekalipun sebagiannya termasuk makna yang tidak pokok (taba’i) seperti bolehnya menikah.
B. Isyaratu an-Nas (إشارة النص) atau Dilalah Isyarah
        Definisi menurut As-sarkhasi sebagai berikut:
ما لم يكن السياق لأجله لكنه يعلم بالتأمل في معنى اللفظ من غير زيادة فيه ولا نقصان.

9
“Apa yang terungkap bukan ditujukan untuk itu, akan tetapi dengan pemikiran yang mendalam didapatkan suatu makna dari lafadz tersebut tanpa berlebih atau kurang”.
      Mengutip dari Sa’id al-Khin:
دلالة اللفظ على حكم غير مقصود ولا سيق له النص ولكنه لازم للحكم الذي سيق الكلام لإفادته وليس ظاهر من كل وجه.
 “Penunjukkan lafadz atas berlakunya hukum yang bukan dimaksud dan juga bukan diperuntukkan atas nash, akan tetapi merupakan kemestian hukum bagi pembicaraan yang diperuntukkan baginya dan bukan pula dari setiap segi zhahirnya”.   
Misalnya, Firman Allah Swt:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”. Qs:2:187.
Dalam ayat di atas ini menunjukkan dengan pernyataannya bahwa bolehnya makan, minum dan menggauli istri setiap malam pada bulan ramadhan sampai terbitnya fajar.
            Menunjukkan isyarat dengan ayat ini bahwa barang siapa yang paginya junub maka puasanya pada hari itu sah.
            Jika saja menyambung itu boleh dalam setiap bagian malam, kemudian  telah muncul fajar sedang dia junub, maka mandi bisa dilakukan setelah waktu fajar.

10
C. Dilalatu an-Nas
Dalam definisi dilalah nash ini  dikutip oleh Sa’id al-Khin sebagai berikut:

دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه لوجود معنى فيه يدرك كل عارف باللغة أن الحكم في المنطوق به كان لأجل ذلك المعنى من غير حاجة ولا نظر ولا اجتهاد.
“Penunjukkan lafadz atas  berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah yang tidak disebutkan (maskut) karena adanya makna di dalamnya yang dapat difahami oleh tiap ahli bahasa bahwa hukum yang disebutkan (manthuq) diperuntukkan baginya tanpa memerlukan nalar dan ijtihad”.
            Dengan demikian, berlakunya hukum dalam penunjukkan ini diambil dari makna nash bukan dari lafadznya. Cukup memahaminya dengan hanya menggunakan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan ijtihad.
Dilalah nash ini sering juga disebut dengan ‘fahwa al-khitab’ yang berarti tujuan pembicaraan. Syafi’iyah menamakannya dengan ‘mafhum al-muwafaqah’. Sebagian Ulama lainnya menamakannya ‘dilalah ad-dilalah’ dan sebagian menamakannya ‘al-qiyas al-jalli’.
 Misalnya, firman Allah:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Qs.17:23.
 Pernyataan ayat ini menunjukkan larangan mengatakan ‘ah’. Setiap ahli bahasa arab mengetahui bahwa dari makna yang diperuntukkan baginya dari ayat ini menunjukkan larangan mencaci dan menyiksa dan memukul kedua orang tua dan
    11
sejenisnya. Karenanya memukul, mencaci, dan seterusnya lebih utama pengharamannya daripada hanya mengatakan ‘uff atau ah’. Karena itu keharaman pada hal-hal yang tidak disebutkan dalam nash itu lebih pasti sebab alasan hukumnya lebih kuat dan jelas.
Dengan demikian, hukum larangan mengatakan ‘uff atau ah’ tetap berdasarkan nash, selanjutnya pengharaman lainnya didasarkan melalui dilalah nash.
D. Dilalatu al-Iqtidha
        Definisinya sebagaimana dikutip oleh Sa’id al-Khin:
دلالة الكلام على معنى يتوقف على تقديره صدق الكلام أو صحته عقلا أو شرعا.
“Penunjukkan pembicaraan atas makna di mana kebenaran dan kesahihan pembicaraan itu dapat  diterima secara akal dan syara’”.
            Para Ulama Ushul membagi ‘dilalah iqtidha’ menjadi tiga bagian:
1.    Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ucapan. Misalnya, hadits Nabi Saw:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه.
“Dihapus dari umatku, kesalahan, lupa, dan segala sesuatu yang memaksa mereka lakukan”.
            Sesungguhnya kata-kata: kesalahan dan lupa tidak mungkin dihapus (dicabut), karena sifat kesalahan dan lupa tidak mungkin dihapus karena telah terjadi (berlalu), karenanya harus ditaqdirkan sehingga pembicaraan itu menjadi benar. Karena kata yang dimaksud adalah menghapus dosa. Maksudnya Allah memaafkan dosanya.
2.    Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ungkapan secara akal. Misalnya, firman Allah:

12
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar". Qs.12:82.
            Sesungguhnya dalam ungkapan ini harus ditakdirkan lafadz di dalamnya supaya dapat diketahui dan sah secara akal, karenanya kata yang dimunculkan adalah ‘penduduk’ sebelum kata ‘negeri’, sehingga menjadi ‘penduduk negeri’.
Karena tidak mungkin secara akal dilontarkan pertanyaan kepada negeri.
3.    Sesuatu yang harus dimunculkan untuk benarnya suatu ungkapan secara syara’. Misalnya, Firman Allah:
“Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik”. Qs.2:187.
            Dalam ayat ini tidak dinyatakan maaf secara syar’I kecuali jika dilakukan diyat. Karenanya kata yang dmunculkan di sini adalah diyat.
2. Metode Ulama Mutakallimin.
Metode dilalatul alfadz dalam Ulama mutakallimin terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Mantuq, 2) Mafhum.
A.  Mantuq (منطوق)
Sebagaimana yang dikutip oleh Sa’id al-Khin, definisinya sebagai berikut:
  ما دل عليه اللفظ في محل النطق  
“Penunjukkan lafadz menurut apa yang diucapkan”.
Definisi ini mengandung arti bahwa kita memahami suatu hukum dari apa yang langsung tersurat dalam lafadz itu, baik penyebutannya langsung atau tidak.
Misalnya, firman Allah:

13
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka” Qs.17:23
Hukum yang tersurat dari ayat ini adalah larangan mengucapkan kata ‘uff’. Contoh lain, dalam surat An-Nisa: 23
(Diharamkan atas kamu mengawini) anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, Qs.4:23
Ayat ini menunjukkan larangan menikahi anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari istri yang digauli. Dua masalah diatas ini menunjukkan lafadz berdasar apa yang diucapkan (manthuq).
B.  Mafhum (مفهوم)
Definisinya sebagai berikut:
ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق بأن يكون حكما لغير المذكور وحالا من أحواله .
“Penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan”.
Misalnya, firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" Qs.17:23.
Ayat ini menunjukkan dan dapat dilihat dari sisi mafhumnya pelarangan memukul orang tua. Contoh lainnya dalam surat An-Nisa:25.
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”. Qs.4: 25.
Ayat ini menunjukkan haramnya atau tidak bolehnya menikahi hamba sahaya
14
yang tidak beriman. Dua hal diatas ini menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak disebutkan (mafhum).
a. Macam-macam Mafhum
            Mafhum terbagi menjadi dua bagian:
1.  Mafhum Muwafaqah (Mafhum Kesamaan)
Definisi yang dikutip oleh Sa’id dan al-Khin:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه وموافقته له نفيا أو إثباتا لاشتراكهما في معنى يدرك من اللفظ مجرد بمعرفة اللغة دون الحاجة إلى بحث واجتهاد.
 “Penunjukkan lafadz atas  berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah yang tidak disebutkan (maskut) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti (nafy) atau tidak pasti (itsbat) bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui dengan hanya memahami bahasa tanpa memerlukan nalar dan ijtihad ”.          
Selanjutnya masalah yang tidak disebutkan (maskut) lebih utama dari yang disebutkan (manthuq). mafhum ini juga dinamakan fahwa al-khitab dan juga ada kesamaan dengan lahnu al-khitab.
 Misalnya, firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”. Qs.17:23.
Pernyataan ayat ini menunjukkan larangan mengatakan ‘uff’ karenanya disebut manthuq. Adapun larangan memukul adalah maskut (yang tidak disebutkan). Karena kedua makna ini masuk dalam makna ‘menyakiti’ yang difahami dari lafadz ‘uff’ bahkan memukul pelarangannya lebih utama.

15
a.  Berhujjah dengan Mafhum Muwafaqah
     Kita sudah memahami di atas bahwa mafhum mukholafah adalah sama dengan dilalah nash sebagaimana metode hanafiah.
      Dalam berhujjah dengan mafhum muwafaqah ini tidak ada perbedaan di antara para fuqoha kecuali pendapat dari mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiyas, sedangkan mereka menafikan qiyas.
b.  Atsar Ikhtilaf
Bahwa perbedaan dalam kaidah ini memiliki pengaruh besar dalam perbedaannya dengan cabang, dari perbedaan cabang itulah yang menjadikan perbedaan yang muncul dalam kaidah ini.











16
PENUTUP
            Dari pemaparan di atas, dapat difahami bahwa para Ulama mempunyai dua metode dalam dilalah. pertama, metode Ulama Hanafiah. Kedua, metode Ulama Mutakallimin.
            Dilalah dalam metode Ulama Hanafiah melalui empat dilalah, yakni dilalah ibarah, dilalah nash, dan dilalah iqtidha. Sedangkan metode Ulama melalui empat dilalah yang terangkum di dalam Manthuq dan Mafhum. Selanjutnya ada persamaan antar dua metode ini yaitu dilalatu al-iqtidha dan dilalatu an-nas hanafiah. Hanya saja dilalatu an-nas hanafiah dengan nama mafhum muwafaqah pada Ulama mutakallimin. Adapun ibaratu an-nas sama dengan manthuq pada Ulama mutakallimin.
            Telah menjadi terang bahwa perbedaan mereka pada perbedaan metode dalam pembagian masing-masing, walaupun keduanya sampai pada nilai-nilai yang berdekatan. Perbedaannya hanya pada nama bukan pada substansi.









17
DAFTAR PUSTAKA
 Ibn Al-Hajib, Mukhtashar Al-Muntaha, Mesir:Al-Maktabat Al-Amirriyyah, 1328 H.
Al-Bardisi, Muhammad Zakariya, Ushul Al-fiqh, Mesir:Dar Al-Nahdah Al-Arabiyah, 1969.
Al-baidhawi,Minhaj Al-Wushul”ilm Al-Ushul”,Mesir.Al-Maktabah Al-Tijjariyah  Al-Kurba,1326 H.   
Al-Haj,Ibn Amir, At-Takrir wa At-Tahir,Mesir. Al-Mathba’ah  Al-Amiriyyah, 1316 H.     
 Mustafa Sa’id al-Khin, Atsaru al-Khilaf fi al-Qowaid al-Ushuliyah fi al-ikhtilafi al-Fuqoha (Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet 7, 1998) hal 128.





































iii




Tidak ada komentar:

Posting Komentar